OPINI PILKADA
Oleh : Agus Setiyadi
Wakil Pimpinan Redaksi Beritaguntur.com
Salah satu buah reformasi yang secara signifikan merubah pola kehidupan
demokrasi bangsa Indonesia adalah penerapan sistem pemilihan langsung
kepala daerah. Pilihan berdemokrasi secara langsung ternyata tidaklah
mudah diterapkan. Pemilukada hampir selalu menimbulkan konflik; terhadap
sebagian, dapat diselesaikan melalui prosedur hukum tetapi sebagian
tidak jarang berdampak komunal, vertikal dan atau horisontal.
Untuk sebagian, konflik disebabkan oleh ketidaksiapan elite politik
menerima kekalahan tetapi sebagian besar karena politik uang maupun
kecurangan incumbent. Yang terakhir ini umumnya berupa penyalahgunaan
fasilitas, dana dan kepegawaian termasuk penyelenggara pemilu. Karena
itu,pemilukada langsung yang menghabiskan biaya yang cukup besar
berubah menjadi ajang pemilihan ”pemimpin berduit”. Akibatnya, kepala
daerah terpilih cenderung menjadi penguasa dzolim yang menyalahgunakan
kekuasaan untuk kepentingan tim sukses dan pengembalian modal.
Pada
gilirannya, masyarakat mulai jenuh dan tidakpercaya pada sistem
demokrasi.Fenomena seperti diuraikan diatas memunculkan wacana pemilihan Gubernur
melalui DPRD Provinsi, seperti yang pernah dipraktekkan pada masa lalu,
dengan penyesuaian seperlunya. Wacana tersebut perlu dibahas dalam
rangka penyusunan RUU Pemilukada.
Ditinjau dari sudut pembiayaan, pemilihan melalui DPRD praktis lebih
hemat. Namun demikian, jika gagasan penyelenggaraan pemilukada serentak
diterapkan sudah barang tentu bisa menekan biaya seminimal-mungkin.
Hanya saja pemilukada serentak membutuhkan masa transisi dan harus
menghindari kampanye terbuka.
Perlu dicatat bahwa kemahalan biaya pemilukada tidak terlepas dari
regulasi yang rancu/multitafsir mulai dari inventarisasi pemilih dan
rekrutmen calon sampai kampanye dan pemungutan suara. Biaya calon harus
dibatasi dan dikontrol secara ketat, terutama anggaran belanja yang
seharusnya proporsional dengan pendapatan asli daerah. Jelas, bahwa
figur yang telah dikenal dan memiliki integritas dan rekam jejak yang
diakui oleh masyarakat luas laku di”jual” dengan biaya yang relatif
lebih murah.
Penghematan juga bisa dilakukan melalui penerapan teknologi
terpadu (ICT system) yang meskipun mahal pada tahap pertama relatif
murah untuk pemakaian berikutnya.Dari segi penyalahgunaan kekuasaan, pemilihan melalui DPRD jelas tidak
menimbulkan permasalahan. Dilain pihak,penyalahgunaan kekuasaan juga
dapat diminimalisasi pada pemilukada langsung jika dipersyaratkan bahwa
calon.
”tidak sedang menduduki jabatan sebagai kepala/wakil kepala
daerah”. Persyaratan tersebut tidak secara eksplisit membatasi hak
individu tetapi menekankan pada kewajiban jabatan untuk tidak
dimanfaatkan bagi kepentingan pemenuhan hak individu. Ini berarti bahwa
persoalan pengunduran diri atau cuti sampai perhitungan suara adalah
konsekuensi yang diputuskan oleh calon sendiri atau setidak-tidaknya
cukup diatur secara eksplisit dalam peraturan di bawah undang-undang.
Wacana pemilihan gubernur melalui DPRD boleh jadi dipertimbangkan
sebagai jalan keluar dari praktik money politic. Namun di beberapa
daerah, ternyata telah beredar ”harga” pasaran bahwa setiap anggota DPRD
Provinsi siap ”menjual” suara dengan nilai antara Rp. 1 ¼ -1,5 milyar.
Ancaman direcall oleh partai tidak menyurutkan semangat mereka, karena
jumlah uang tersebut lebih besar dari total penghasilan selama sisa masa
keanggotaan. Sikap tersebut bahkan dengan lantang dipublikasikan dengan
alasan sebagai ”dana aspirasi(?)”.
Jika ditambah biaya partai, seorang
calon harus menyiapkan lebih dari Rp. 50 miliar yang kelak harus dibayar
kembali dengan kekuasaan selama masa jabatan. Ini berarti bahwa jabatan
gubernur/Kepala Daerah hanya mungkin diduduki orang berduit atau yang dimodali
pengusaha.
Permainan “mata” dalam penyusunan RAPBD sudah mulai tercium. Pada beberapa provinsi, untuk setiap anggota DPRD dialokasikan anggaran “dana aspirasi” mencapai satu milyar pertahun, diduga sebagai “panjar” oleh incumbent yang bakal maju lagi dalam pemilihan gubenur/Kepala Daerah periode berikutnya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !