Ketua LSM GUNTUR (Gerakan Untuk Rakyat) Bojonegoro
Menonton berita di TV, tak hanya memberikan kita pengalaman baru
tentang berita secara visual. Tapi terkadang juga mempertontonkan
bagaimana berita itu dibuat, bagaimana wartawan mendapat berita, bahkan
hingga bagaimana tindakan wartawan.
Menonton berita, sering mempertontonkan wartawan yang menjadi objek
kekerasan. Misalnya korban bom pesawat tempur amerika yang ‘secara tak
sengaja’ (kata militer USA) membom atap salah satu gedung dimana
terdapat wartawan Al-Jazeera mengambil gambar. Secara tak sengaja
wartawan menjadi objek berita. Wartawan menjadi objek kekerasan.
Belum lagi kejadian-kejadian pemukulan terhadap wartawan yang sering
terjadi di nusantara ini akibat seseorang atau sekelompok orang tidak
senang dirinya menjadi objek pemberitaan. Kekerasan terhadap wartawan di
dunia Indonesia bukan lagi hal yang baru. Umumnya kekerasan kepada
wartawan karena orang yang diberitakan tak tahu atau memang lebih senang
‘menjawab’ berita dengan kekerasan.
Namun ada suguhan dari berita TV swasta nasional yang memutar balik kenyataan ‘wartawan korban kekerasan’.
Suguhan berita petang itu, mempertontonkan betapa bringasnya wartawan.
‘Wartawan melakukan kekerasan’.
Semuanya berawal pada rasa ketidak senangan para pekerja pers itu
terhadap pengawalan tersangka korupsi atau peristiwa apa saja.Mereka yang tidak senang akan kehadiran para Awak Media dan pada Akhirnya mereka menyewa para Body Guard untuk menganiaya bahkan tak segan-segan menghabisi Wartawan.
Contoh Kecil Kejadian tentang sidang Korupsi Bupati Kutai Karta Negara Para wartawan jengkel atas sikap para body guard itu. Pada tayangan
berita itu, terlihat seseorang memukulkan kamera kepada salah seorang
body guard. Sang body guard yang berpenampilan mahasiswa (karena
menggandeng tas) lari tunggang langgang, namun masih terkejar oleh
sejumlah wartawan yang marah.
Body guard itu langsung dipukul, ditendang
dan dimaki. “Ini bukan kutai,” terdengar seseorang berteriak saat body
guard itu dihajar.Untungnya dia masih sempat lari menghindar. Itupun masih dikejar.
Tindakan para wartawan marah itu, menurut saya sama dengan nara
sumber yang tak tahu cara menjawab berita. Bukankah masih ada jalan
‘ideal’ bagi wartawan untuk melakukan protes terhadap tindakan body
guard yang super protektif. Kalaupun tak ada jalan lain, apakah wartawan
harus menjadi preman dan menjotos?
Body guard memang bertugas melindungi majikannya, dari sesuatu yang
akan mengganggu majikannya. Jadi tindakan berusaha menghalangi para
wartawan untuk meliput Syaukani memang sudah pada tempatnya. Mereka
sudah profesional sesuai pekerjaannya. Mereka telah melaksanakan sesuai
‘order’.
Untung saat wartawan meliput perang tak diberi senjata. Kalau diberi
senjata, mungkin tak pergi meliput, malah ikut pula berperang. [Kuprit]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !