Headlines News :
Home » » Sanggupkah Pemerintah Menghentikan Aksi Tawuran Pelajar......?????

Sanggupkah Pemerintah Menghentikan Aksi Tawuran Pelajar......?????

Written By Unknown on Kamis, 27 September 2012 | 2:28:00 PM

OPINI TAWURAN PELAJAR

Oleh : M.Ya'kub,S.Ag
Pimpinan Redaksi Beritaguntur.com






Ironi benar negeri kita ini, siswa yang seharusnya belajar malahan tawuran dengan mengunakan senjata tajam-seperti preman saja.

Sebuah ketidakmampuan dalam penanaman pedagogik-roh pendidikan kepada anak didik.  Biarpun beribu-ribu guru telah disertifikasi dan anggaran pendidikan telah dinaikkan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi yang ditindaklanjuti oleh pemerintah untuk me­naikkan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN (walau­pun dibeberapa daerah pelak­sanaannya belum berjalan)  namun penanaman roh pendi­dikan itu sendiri belum juga bisa tertanam pada anak didik. 

 
Orientasi pendi­dikan kita se­lama ini hanya mengejar nilai yang tinggi tanpa mementingkan pe­dagogik. Anak-anak ‘dipaksa” un­tuk meraih nilai setinggi-tingginya, kalau dapat nilai 100. Sebuah arah pendidikan yang salah, gilanya secara faktual kondisi ini masih tetap berjalan dan dilanjutkan. Outputnya roh dari pendidikan kita semakin kabur-tak tentu arah.

Kita tahu bahwa pendi­dikan merupakan kegiatan yang esensial di dalam setiap kehidu­pan masyarakat. Pendidikan tidak mungkin terjadi atau terlepas dari kehidupan ber­masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat mempunyai kebu­da­yaannya, maka pendidikan merupakan suatu kegiatan budaya. Namun, konsep-kon­sep maupun praksis mengenai pendidikan dan kebudayaan belum semuanya melihat keterkaitan yang organis antara pendidikan dan kebudayaan. Demikian pula konsep menge­nai kebudayaan dalam banyak hal terlepas dari pandangan tentang pendidikan sehingga mengaburkan peranan aktor kebudayaan sebagai hasil dari proses pendidikan.

Bahkan pendidikan menu­rut filsafat Plato merupakan bagian dari negara. Tujuan akhir pen­didikan ialah menjadi warga negara yang baik. Demikianlah hakekat pendidikan berubah menurut zamannya. Pen­didi­kan diarahkan kepada nilai-nilai budaya yang ada, baik penekanan pada suatu nilai tertentu ataupun secara kese­luruhan, ataupun menjadikan pendidikan sebagai alat untuk memperoleh peker­jaan dalam masyarakat.

Hasil pendidikan dari lembaga pendidikan yang kurang jelas arahnya tentunya rendah kualitasnya. Kita lihat misalnya, kebijakan-kebijakan pendidikan yang kurang terarah seperti pelaksanaan ujian nasio­nal yang berubah-rubah tujuan­nya sehingga pelaksanaan ujian nasional menjadi kabur, bukan sebagai alat untuk pemetaan masalah-masalah pendidikan, tetapi berubah menjadi penen­tuan nasib pe­serta didik. Pelaksanaan pendi­dikan nasio­nal yang demikian hanya mem­bawa lembaga pendidikan kepada pemupukan intelek­tualisme, sehingga tidak meng­hasilkan manusia-manusia kreatif yang dibutuhkan di da­lam masyarakat modern yang ma­ju. 

Pendidikan tidak meng­ha­silkan manusia-manusia kreatif dan inovatif, bahkan meng­hasilkan penganggur-penganggur yang pada akhirnya menjadi beban masyarakat.
Lembaga-lembaga pendi­dikan kita dewasa ini meru­pakan lembaga-lembaga yang memper­tahankan status quo dan mela­hirkan masyarakat mandeg. Diperlukan terobosan-terobosan di berbagai bidang untuk men­cairkan keadaan yang membeku alias mandeg itu. 

Terobosan-terobosan terse­but memerlukan manusia-manusia pemecah gunung es, sehingga kapal kemajuan ma­sya­rakat Indonesia dapat ber­jalan menuju tujuannya yang sebenarnya yakni kemak­muran bersama. Bukankah kita sudah mengetahuinya dan sejarah dunia juga telah membuktikan bahwa negara-negara kebang­saan di dunia yang kemudian menjadi negara maju seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Jerman, Perancis, Belanda dan Jepang adalah negara-negara yang telah mendudukkan pendidikan seba­gai bagian terpadu dari pem­bangunan bangsanya.

Proses pembelajaran me­mung­kinkan peserta didik dapat menguasai  cara mem­peroleh pengetahuan, berke­sempatan menerapkan penge­tahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinte­raksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan jati dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlang­sung dengan tenaga guru yang penuh kon­sentrasi, peralatan yang mema­dai, dengan materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target untuk ujian nasional. Ujian nasional akan mengurangi kreatifitas belajar sampai ting­katan “joy of discovery”. Proses pem­belajaran akan dapat bermakna proses pembudayaan bila didukung oleh sistem evaluasi yang merupakan sarana peda­gogik.

Dalam kaitan ini penulis berpandangan bahwa hampir tidak ada orang yang menolak bahwa diselenggarakan suatu sistem pendidikan adalah dapat dihasilkannya manusia terdidik yang dewasa secara intelektual, moral, kepribadian, dan ke­mam­puan.

Namun, yang sering disoroti orang seperti yang terakhir-akhir ini berlangsung adalah dimensi penguasaan pengetahuan peserta didik yang belum tentu ber­dampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kema­tangan pribadi, kematangan moral dan karakter.Pendidikan kita semakin terpuruk karena pendidikan kita disebut juga “bureaucratic heavy” (terlalu birokratis). Tetapi juga tidak ada yang bisa kita kerjakan untuk merubah keadaan itu, meskipun kita tahun bahwa Sumatera Barat itu sangat demokratis. Tetapi dalam praktek, pendidikan tidaklah demokratis. 

Guru tergantung dan takut kepada kepala sekolah, kepala sekolah takut pada kepala dinas, kepala dinas takut kepada bupati/walikota dan begitu seterusnya. Sebuah fakta yang tidak dapat terbantahkan sampai sekarang ini. Bumbu otonomi daerah membuat persoalan ini menjadi lebar bahkan semakin lebar.

Untuk itulah kita harus meletakkan roh pendidikan itu kepada fondasinya. Melihat pada tujuannya, bahwa pendidikan adalah pembebasan, maka sekolah seharusnya berpihak pada anak, tak boleh mema­nipulasi murid, tapi sebaliknya harus mempersiapkan individu untuk memimpin dirinya de­ngan tidak boleh dipisahkan dari aspek kehidupan murid.

Lebih jauh lagi, pendidikan harus memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mempelajari apa saja yang perlu diketahui agar bisa bertindak secara cerdas demi kepentingan memperta­hankan kehidupan kelak. Proses pembelajaran dapat merangsang, menantang dan menyenangkan seperti yang dikemukakan oleh Whitehead (dalam H. Soedijarto, 2010) sampai pada tingkat “joy of discovery”, diharapkan proses pembelajaran itu akan bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses penguasaan seni meng­gunakan ilmu pengetahuan.

Bukan pendidikan yang menga­rahkan anak didik untuk mengej­ar nilai yang tinggi namun harus mampu membentuk ke­cerdasan inlektual- pengem­bangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, kematangan moral dan karakter. Akhinya dengan mema­hami dan meletakkan roh pendidikan itu pada tempatnya maka apa yang terjadi seperti tawuran antar pelajar tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Head Office : Gg.Koramil No.28 Kapas - Bojonegoro | | (0353) 593 3256 - 081 259 061 188
Periklanan : Nurul Amalin 085 851 878 586
Copyright@ © 2012. Beritaguntur.com - Email: guntur_pusat@yahoo.co.id
Website Resmi Berita Nasional Tabloidguntur.com@ AGUS KUPRIT