OPINI TAWURAN PELAJAR
Oleh : M.Ya'kub,S.Ag
Pimpinan Redaksi Beritaguntur.com
Ironi benar negeri kita ini, siswa yang seharusnya
belajar malahan tawuran dengan mengunakan senjata tajam-seperti preman
saja.
Sebuah ketidakmampuan dalam penanaman pedagogik-roh
pendidikan kepada anak didik. Biarpun beribu-ribu guru telah
disertifikasi dan anggaran pendidikan telah dinaikkan melalui keputusan
Mahkamah Konstitusi yang ditindaklanjuti oleh pemerintah untuk
menaikkan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN (walaupun dibeberapa
daerah pelaksanaannya belum berjalan) namun penanaman roh pendidikan
itu sendiri belum juga bisa tertanam pada anak didik.
Orientasi
pendidikan kita selama ini hanya mengejar nilai yang tinggi tanpa
mementingkan pedagogik. Anak-anak ‘dipaksa” untuk meraih nilai
setinggi-tingginya, kalau dapat nilai 100. Sebuah arah pendidikan yang
salah, gilanya secara faktual kondisi ini masih tetap berjalan dan
dilanjutkan. Outputnya roh dari pendidikan kita semakin kabur-tak tentu
arah.
Kita tahu bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang
esensial di dalam setiap kehidupan masyarakat. Pendidikan tidak mungkin
terjadi atau terlepas dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena setiap
masyarakat mempunyai kebudayaannya, maka pendidikan merupakan suatu
kegiatan budaya. Namun, konsep-konsep maupun praksis mengenai
pendidikan dan kebudayaan belum semuanya melihat keterkaitan yang
organis antara pendidikan dan kebudayaan. Demikian pula konsep mengenai
kebudayaan dalam banyak hal terlepas dari pandangan tentang pendidikan
sehingga mengaburkan peranan aktor kebudayaan sebagai hasil dari proses
pendidikan.
Bahkan pendidikan menurut filsafat Plato merupakan
bagian dari negara. Tujuan akhir pendidikan ialah menjadi warga negara
yang baik. Demikianlah hakekat pendidikan berubah menurut zamannya.
Pendidikan diarahkan kepada nilai-nilai budaya yang ada, baik
penekanan pada suatu nilai tertentu ataupun secara keseluruhan, ataupun
menjadikan pendidikan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan dalam
masyarakat.
Hasil pendidikan dari lembaga pendidikan yang kurang
jelas arahnya tentunya rendah kualitasnya. Kita lihat misalnya,
kebijakan-kebijakan pendidikan yang kurang terarah seperti pelaksanaan
ujian nasional yang berubah-rubah tujuannya sehingga pelaksanaan ujian
nasional menjadi kabur, bukan sebagai alat untuk pemetaan
masalah-masalah pendidikan, tetapi berubah menjadi penentuan nasib
peserta didik. Pelaksanaan pendidikan nasional yang demikian hanya
membawa lembaga pendidikan kepada pemupukan intelektualisme, sehingga
tidak menghasilkan manusia-manusia kreatif yang dibutuhkan di dalam
masyarakat modern yang maju.
Pendidikan tidak menghasilkan
manusia-manusia kreatif dan inovatif, bahkan menghasilkan
penganggur-penganggur yang pada akhirnya menjadi beban masyarakat.
Lembaga-lembaga pendidikan kita dewasa ini merupakan lembaga-lembaga yang mempertahankan status quo
dan melahirkan masyarakat mandeg. Diperlukan terobosan-terobosan di
berbagai bidang untuk mencairkan keadaan yang membeku alias mandeg itu.
Terobosan-terobosan tersebut memerlukan manusia-manusia pemecah gunung
es, sehingga kapal kemajuan masyarakat Indonesia dapat berjalan
menuju tujuannya yang sebenarnya yakni kemakmuran bersama. Bukankah
kita sudah mengetahuinya dan sejarah dunia juga telah membuktikan bahwa
negara-negara kebangsaan di dunia yang kemudian menjadi negara maju
seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Jerman, Perancis, Belanda dan
Jepang adalah negara-negara yang telah mendudukkan pendidikan sebagai
bagian terpadu dari pembangunan bangsanya.
Proses pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat
menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan
pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinteraksi
secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan jati
dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan
tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, dengan
materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target
untuk ujian nasional. Ujian nasional akan mengurangi kreatifitas belajar
sampai tingkatan “joy of discovery”. Proses pembelajaran
akan dapat bermakna proses pembudayaan bila didukung oleh sistem
evaluasi yang merupakan sarana pedagogik.
Dalam kaitan ini penulis berpandangan bahwa hampir tidak
ada orang yang menolak bahwa diselenggarakan suatu sistem pendidikan
adalah dapat dihasilkannya manusia terdidik yang dewasa secara
intelektual, moral, kepribadian, dan kemampuan.
Namun, yang sering disoroti orang seperti yang
terakhir-akhir ini berlangsung adalah dimensi penguasaan pengetahuan
peserta didik yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan
intelektual, kematangan pribadi, kematangan moral dan karakter.Pendidikan kita semakin terpuruk karena pendidikan kita disebut juga “bureaucratic heavy”
(terlalu birokratis). Tetapi juga tidak ada yang bisa kita kerjakan
untuk merubah keadaan itu, meskipun kita tahun bahwa Sumatera Barat itu
sangat demokratis. Tetapi dalam praktek, pendidikan tidaklah demokratis.
Guru tergantung dan takut kepada kepala sekolah, kepala sekolah takut
pada kepala dinas, kepala dinas takut kepada bupati/walikota dan begitu
seterusnya. Sebuah fakta yang tidak dapat terbantahkan sampai sekarang
ini. Bumbu otonomi daerah membuat persoalan ini menjadi lebar bahkan
semakin lebar.
Untuk itulah kita harus meletakkan roh pendidikan itu
kepada fondasinya. Melihat pada tujuannya, bahwa pendidikan adalah
pembebasan, maka sekolah seharusnya berpihak pada anak, tak boleh
memanipulasi murid, tapi sebaliknya harus mempersiapkan individu untuk
memimpin dirinya dengan tidak boleh dipisahkan dari aspek kehidupan
murid.
Lebih jauh lagi, pendidikan harus memberikan kesempatan
kepada setiap orang untuk mempelajari apa saja yang perlu diketahui agar
bisa bertindak secara cerdas demi kepentingan mempertahankan kehidupan
kelak. Proses pembelajaran dapat merangsang, menantang dan menyenangkan
seperti yang dikemukakan oleh Whitehead (dalam H. Soedijarto, 2010)
sampai pada tingkat “joy of discovery”, diharapkan proses
pembelajaran itu akan bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses
penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan.
Bukan pendidikan yang mengarahkan anak didik untuk
mengejar nilai yang tinggi namun harus mampu membentuk kecerdasan
inlektual- pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi,
kematangan moral dan karakter.
Akhinya dengan memahami dan meletakkan roh pendidikan itu pada
tempatnya maka apa yang terjadi seperti tawuran antar pelajar tidak akan
terjadi lagi di masa yang akan datang.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !